Catatan Seorang Agen Amerika, Jip Perang Numpang Kereta Barang

 Surat sakti dari “Kees” Van Mook, adalah jaminan bagi Kahin mendapatkan akses langsung menghadap penguasa Batavia. Gubernur Jenderal Van Mook adalah penghuni gedung berlantai marmer yang ada di pusat kota (kini Istana Merdeka). Kahin, yang penuh keberuntungan itu akhirnya mendapati dirinya dalam sebuah percakapan dan diskusi yang hangat lagi panjang pada 2 Agustus 1948.

Sangat jelas, sejauh mampu digambarkan Kahin, Van Mook adalah orang yang sangat mencintai Hindia. Dia tak bisa melepaskan diri dari negeri ini. Van Mook adalah seorang yang melihat masa depannya masih terkait Hindia. Sikapnya saat melihat para pemimpin nasionalis Indonesia lebih mirip seperti seorang bapak. Dia bukanlah orang yang menganggap rendah mereka.
Van Mook mengungkapkan, kalau dia sebenarnya ingin memberikan kemerdekaan kepada Indonesia secepat mungkin. Tetapi benaknya ingin memastikan apakah jika mereka (NICA) pergi, Pemerintah Indonesia nanti akan mampu mengatur dan menjaga negeri ini dari ancaman Tiongkok, India, atau orang-orang komunis itu. “Indonesia masih terlalu lemah,” katanya.
Atas arahan Van Mook, Kahin berkesempatan bertemu dengan PJ Koets, Menteri Kepala bawahan Van Mook. Dia adalah pengagum sang gubernur. Seperti halnya Van Mook, Koets yakin bahwa republik yang akan dibentuk nanti bukanlah negeri yang dibentuk begitu saja. Yang akan terbentuk nanti adalah negara federal yang disponsori Belanda. Dia yakin saat orang Indonesia sudah bisa “bertanggung jawab” pasti mereka akan sadar kalau Belanda benar-benar tulus ingin memberikan kekuasaan kepada Indonesia. Sayangnya terlalu banyak orang di republik yang punya kepentingan dan agenda politik sendiri-sendiri menurutnya.
Di mata Koets, orang yang paling dia hargai adalah sosok seperti Wakil Presiden M Hatta dan bekas Perdana Menteri Sjahrir. Koets sama sekali tidak mau bicara tentang Sukarno apalagi Amir Sjarifuddin yang saat itu telah memimpin sebuah koalisi politik sayap kiri.
Jip Kesayangan
Batavia pada paruh akhir 1948 masuk dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Atas desakan PBB, Belanda memberikan izin bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk membuka kantor perwakilan di sebuah rumah kecil di Pegangsaan Timur. Ironis, dalam catatan Kahin, mengingat tiga tahun sebelumnya Sukarno dan Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan di rumah besar yang ada di seberang kantor perwakilan itu. Berbekal sepucuk surat dari Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Agus Salim, Kahin datang untuk bertemu konsul Surjotjondro yang menyambut hangat dan menjanjikan visa menetap yang bisa digunakan kapanpun Kahin ingin memasuki wilayah republik.
Praktiknya, untuk menuju ke wilayah Republik Indonesia sekitar 200 mil ke timur, butuh lebih dari sekadar visa. Surjotjondro hanya bisa menyarankan untuk meminta kemurahan hati komisi PBB memberikan satu kursi dalam pesawat yang tidak punya jadwal pasti ke Yogyakarta, Ibu Kota Republik. Sayangnya tidak hanya visa republik yang diperlukan, izin dari penguasa Hindia Belanda juga harus keluar. Pasalnya hanya anggota komisi PBB atau jurnalis terdaftar yang bisa ikut pesawat. Sedangkan layanan kereta ke Yogyakarta sudah tidak berjalan karena belum ada kesepakatan antara Belanda dan Republik Indonesia. Pilihan hanya mungkin dengan menyewa kendaraan dengan harga yang luar biasa mahal. Kalaupun bisa bayar hanya keberuntungan luar biasa saja bisa menemukan seorang supir yang mau mengantarkan orang melintas garis demarkasi Van Mook.
Untuk meminta izin Belanda, walaupun Kahin sudah pernah bertemu Van Mook, tetapi kali ini dia harus menghadap Komandan Militer Belanda Simon Spoor. Sangat jelas bedanya bertemu antara penguasa sipil dan militer. Di depan kepala intelligence Belanda, Letkol Van Lier, Kahin bertemu batu. Tidak ada tanda-tanda kalau Van Lier mau memberi ijin. Adanya Kahin malah diinterogasi panjang dan diakhiri dengan pernyataan tidak ada jatah kursi pesawat buat jurnalis atau peneliti seperti dia.
Kahin menjadi kecut. Banyak jurnalis lain yang simpati pada kesulitannya, tetapi sadar betapa sulitnya menghadapi Van Lier. Saat interogasi ada kata-kata Van Lier yang diingat Kahin. “Oh ya, tentu saja kami tidak keberatan kamu menyeberang ke wilayah republik, asal kamu berangkat dengan kendaraanmu sendiri,” kata Van Lier meremehkan Kahin.
Hingga, kembali sesuatu keberuntungan kembali menemani Kahin. Lebih mirip keajaiban. Konsulat Amerika di Batavia ternyata melelang peralatan militer bekas operasi polisional (agresi) yang pertama. Salah satu di antaranya adalah sebuah jip yang dulunya digunakan tentara Gurka. Saat lelang dilakukan, hanya bekas tentara Amerika yang menjadi prioritas. Tentu itu sangat cocok dengan profil Kahin. Dengan merogoh 502 dolar dari kantungnya jip itu pun berada di tangan Kahin sebagai penawar tertinggi.
Kereta Barang ke Purwokerto
Jip kesayangan sudah di tangan, Kahin pun membawa ke bengkel paling bagus di Batavia. Salah seorang mekanik di sana setelah memeriksa berkata kalau jip ini tak akan mungkin sampai ke sana. Semangat Kahin pun surut sampai akhirnya mekanik itu punya akal. Satu-satunya jalan adalah mengangkut mobil ini dengan kereta barang menuju Purwokerto. Baru dari sana mobil ini bisa berjalan hingga sekitar 90 mil menuju Yogyakarta. Kahin pun mendatangi kantor kereta api dan beruntung kali ini orangnya mau membantu.
24 Agustus 1948, Kahin berangkat dengan kereta barang yang membawa jip kesayangan ke Purwokerto. Berangkat siang Kahin sampai di Purwokerto tengah malam. Tak lupa petugas kereta memberi Kahin makan malam dan sebuah jaket dari perbekalan mereka. Paginya Kahin pun siap menyeberang ke wilayah Republik Indonesia. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *