Sebagai fenomena sosial, agama Islam pertama kali muncul di Jazirah Arab pada abad ke-7 Masehi. Nabi Muhammad adalah sosok yang mula-mula memperkenalkan agama Islam kepada Mekah. Hanya dalam kurun waktu dua dekade dari awal dakwahnya, Muhammad telah berhasil menjadikan umat Islam menyebar begitu pesat sehingga sampai ke luar Jazirah Arab. Benson Bobrik (2013) dalam Kejayaan Harun ar-Rasyid mencatat, pasukan Muslim telah mulai mengembangkan jangkauan kuasanya hingga kawasan di sepanjang perbatasan Kekaisaran Byzantium.
Lulusan Phd dari Columbia University itu meneruskan, setelah manusia pilihan itu wafat, tercatat kemenangan demi kemenangan terus ditorehkan di atas pundak sejarah penyebaran Islam. Hanya dua tahun setelah itu, pasukan umat Islam telah mencapai Kaldea (Irak Selatan) dan memberinya Kota Hira. Perang Yarmuk pada 634 membuka jalan penguasaan bagi Syria. Damaskus takluk pada 635. Antiokia dan Yerusalem pada 636, Seleucia-Ctesiphon, yaitu Ibu Kota Kaldea, pada 637, dan Kaesarea pada 638.
Lanjut Mesopotamia dianeksasi, Kota Basra dan Kufah didirikan. Langkah menentukan semakin terlihat, sebagian Persia dicaplok pada 638-40, dan Perang Nahawand pada 642 berhasil mengakhiri kekuasaan Sassaniyah di Persia dan meletakkan seluruh Persia di bawah kendali kaum Muslim. Kekaisaran Persia saat itu mudah ditundukkan karena ia kelelahan sehabis berperang dengan Kekaisaran Byzantium selama tiga puluh tahun. Kemenangan ini juga berarti sekaligus menempatkan Kekaisaran Byzantium jadi negara “pinggiran” dan mencabik-cabik wilayah Kekaisaran Romawi. Setahun sebelum penundukan Persia itu, 641, Mesir juga telah menjadi bagian dari kekuasaan Islam.
Hingga, praktis hanya butuh tiga puluh tahun setelah berpulangnya penyandang gelar Al-Amin ini, lanjut Bobrik, pasukan kaum Muslim bahkan telah berhasil menyapu kawasan seluas bekas Kekaisaran Romawi.
Perluasan teritorial ini terus berlanjut. Seiring menyingsingnya abad ke-8, kekuatan umat Muslim ini telah mencapai perbatasan Tiongkok, di Kasghar, sehingga perjanjian dengan bangsa Tiongkok pun dicapai. Dan tak berselang lama setelah itu, Dinasti Tang di kawasan timur pun behasil diporak-porandakan. Awal abad ke-8 pulalah Islam mulai masuk ke wilayah Barat yaitu Spanyol kini. Sebelumnya, umat Islam telah menguasai beberapa wilayah di Afrika Utara seperti Maroko. Selanjutnya dari sanalah, peta perluasan kekuasaan Islam bergerak ke wilayah Spanyol, di mana saat Islam berkuasa daerah ini sohor dengan nama Andalusia.
Jika dilihat pada peta modern penyebaran Islam di seluruh dunia, maka kawasan Asia dan Afrika adalah wilayah yang paling dominan. Islam tumbuh berkembang tidak hanya menjadi sistem kepercayaan yang dianut masyarakat dunia, tetapi juga menjadi sebuah peradaban dengan banyak imperium.
Ya, sejarah mencatat keberadaan Kerajaan Umayyah (muncul di pertengahan abad ke-7), Abbasiyah (muncul di pertengahan abad ke-8) atau sering disebut periode awal, hingga kerajaan Turki Usmani (muncul abad ke-13), Safawi (muncul awal abad ke-16), dan Mughal (muncul awal abad ke-17) pada periode akhir keemasan Islam, adalah imperium-imperium kuat dan besar di dunia.
Menarik dicatat, di era keemasan sejarah Islam, perjalanan dan perluasan pengaruh Islam di dunia ini bukan saja telah menorehkan kemajuan perkembangan Ilmu pengetahuan. Islam juga berhasil mengguratkan peradaban yang bernafaskan nilai-nilai Islam. Saat periode keemasan itu berlangsung, bisa dikatakan peradaban Barat justru tengah berada di titik nadir zaman kegelapan.
Tapi perluasan agama Islam tak semuanya serta-merta berjalan dengan jalan penundukan atau kekerasaan. Adalah wilayah Asia Tenggara, yang sering disebut-sebut oleh banyak peneliti sejarah, Islam diyakini masuk ke wilayah ini dengan jalan damai. Ataupun sekiranya ada aspek penundukan atau kekerasaan, kasus ini diyakini hanyalah kasus minor dan bukanlah sejarah arus utama. Mekanisme jalan dakwah, perdagangan dan penyebaran Sufisme Islam, disinyalir merupakan katalisator utama tersebarnya Islam secara meluas di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, melalui jalan damai.
Islam Asia Tenggara
Asia Tenggara adalah tempat tinggal bagi penduduk Muslim terbesar di dunia. Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Selain itu, minoritas Muslim juga ditemukan di Burma (Myanmar), Singapura, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Istilah Islam Asia Tenggara (Southeast Asian Islam) sendiri sering digunakan secara bergantian dengan istilah ‘Islam Melayu-Indonesia’ (Malay-Indonesian Islam). Penyebutan secara sinonim ini wajar, mengingat jumlah populasi pemeluk Islam di Malaysia dan Indonesia secara keseluruhan diestimasi mencapai lebih dari 40 persen jumlah penduduk di Asia Tenggara dan kisaran 25 persen penduduk Muslim dunia.
Helmiati (2014) dalam Sejarah Islam Asia Tenggara sengaja membedakan tahapan atau fase konversi keagamaan di Asia Tenggara ke dalam tiga terminologi, yaitu “kedatangan Islam”, “penetrasi (penyebaran) Islam, dan “islamisasi”. Bicara kedatangan Islam lazimnya dibuktikan dengan melihat peninggalan artefak-artefak sejarah, seperti prasasti, batu bertulis, batu nisan, dan lain sebagainya. Dari bukti pelbagai artefak inilah kemudian diperkirakan awal kedatangan Islam di suatu tempat tertentu.
Sudah tentu kedatangan Islam sebagai suatu interaksi awal dengan masyarakat setempat ini tidak selalu berarti bahwa masyarakat tersebut telah serta-merta menganut Islam. Meskipun tidak terlalu jelas dari mana asumsi tersebut ia rumuskan, seturut tulisan Helmiati lazimnya proses konversi menjadi Islam pada kasus Asia Tenggara, seringkali berselang waktu kurang lebih setengah abad setelah fase kedatangan Islam itu sendiri.
Sedangkan Islamisasi merupakan suatu proses panjang yang berlangsung selama berabad-abad bahkan sampai sekarang juga masih terus berproses. Islamisasi, selain mengandung arti mengajak orang untuk memeluk Islam, juga mengandung arti upaya pemurnian Islam dari unsur-unsur kepercayaan nonIslam.
Selain itu, masih seturut Helmiati, Islamisasi juga berarti suatu upaya agar Islam dilaksanakan dalam berbagai aspek kehidupan, yang bukan hanya mencakup ritual keagamaan, melainkan juga implementasi nilai-nilai Islam ke dalam domain ekonomi, sosial-budaya, politik, hukum dan pemerintahan. Dengan demikian, menurut dia, Islamisasi terkait-mait dengan upaya gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam.
Ya, banyak sejarawan berpendapat Islam masuk ke Asia Tenggara melalui suatu proses damai. Prosesnya juga nisbi berlangsung selama berabad-abad dan berjalan secara gradual, serta tidak berlangsung secara bersamaan di wilayah kepulauan tersebut. Penyebaran Islam di kawasan ini hampir terjadi tanpa pergolakan politik atau bukan melalui ekspansi pembebasan yang melibatkan kekuatan militer, atau juga tidak melalui pemaksaan struktur kekuasaan dan norma-norma masyarakat dari luar terhadap masyarakat setempat.
Dus, Islam masuk di Asia Tenggara melalui jalur perdagangan, perkawinan, dakwah, dan pembauran masyarakat Muslim Arab, Persia, dan India dengan masyarakat pribumi. Kesimpulan akan watak sejarah masuknya Islam di kawasan ini diakui oleh banyak pengamat, di antaranya, ialah Thomas W Arnold. Dalam buku klasiknya The Preaching of Islam, Arnold mengatakan bahwa penyebaran dan perkembangan historis Islam di Asia Tenggara berlangsung secara damai.
Tak kecuali Azyumardi Azra (1999). Dalam karyanya Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, juga mencatat hal yang kurang lebih sama. Azra bahkan menambahkan, berbeda dengan ekspansi Islam di banyak wilayah Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika yang oleh sumber-sumber Islam di Timur Tengah disebut sebagai mengemban spirit ‘fath’ (atau ‘futuh’), yakni pembebasan, yang dalam praktiknya sering melibatkan kekuatan militer. Sebaliknya, penyebaran Islam di Asia Tenggara hampir bisa dikata tidak pernah disebut sebagai futuh yang disertai kehadiran kekuatan militer.
Banyak peneliti mengatakan, bahwa Islam telah datang ke Asia Tenggara sejak abad pertama Hijrah atau abad ke-7 Masehi. Asumsi sejarah ini diyakini oleh Arnold, misalnya. Ia mendasarkan pendapat sejarahnya ini pada sumber-sumber Tiongkok. Berita dari Tiongkok itu menginformasikan, menjelang akhir abad ke-7 terdapat seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatra. Berita Tiongkok menyebutkan, di masa Dinasti Tang, tepatnya pada abad ke-9 dan ke-10, orang-orang Ta-Shih sudah tercatat tinggal di daerah Kanton (Kan-fu) dan Sumatra. Ta-Shih adalah sebutan untuk orang-orang Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah memeluk Islam.
Komunitas pedagang Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita setempat. Sehingga hasilnya terbentuklah sebuah komunitas Muslim, yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal. Lebih jauh, menurut Arnold, anggota-anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran Islam.
Pendapat yang sama juga ditegaskan oleh JC van Leur, Indonesian Trade and Society. Menurut Leur, koloni-koloni Arab Muslim telah berdomisili di barat laut Sumatra, yaitu Barus, daerah penghasil kapur barus terkenal sejak tahun 674. Pendapat Leur ini didasarkan pada cerita perjalanan para pengembara yang sampai ke wilayah Asia Tenggara.
Taufik Abdullah (1991) dalam sebuah buku yang dieditorinya yaitu Sejarah Ummat Islam Indonesia, justru tiba pada kesimpulan berbeda. Menurut Abdullah, sejauh ini belum ada bukti di tempat-tempat yang telah disinggahi oleh para pedagang Muslim itu masyarakat lokalnya telah menganut Islam. Seturut analisisnya, adanya koloni yang terdiri dari para pedagang Arab itu bisa jadi karena mereka berdiam di sana untuk menunggu musim yang baik untuk berlayar melanjutkan perjalanan.
Bicara proses konversi Islam di kalangan pribumi Asia Tenggara kemungkinan besar barulah terjadi setelah abad ke-12. Azyumardi Azra (1994) dalam karya klasiknya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abab XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaharuan Islam di Indonesia, menyimpulkan:
“Mungkin benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama Hijriah, sebagaimana dikemukakan Arnold dan dipegangi banyak sarjana Indonesia-Malaysia, tetapi hanyalah setelah abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu proses Islamisasi tampaknya mengalami akselerasi antara abad ke-12 dan ke-16.”
Ya, para sejarawan tampaknya masih kesulitan untuk menjawab secara tepat dan general terhadap pertanyaan “kapan, di mana, mengapa, dan dalam bentuk apa” Islam mulai menimbulkan dampak secara signifikan bagi dinamika masyarakat Asia Tenggara untuk pertama kalinya. Pasalnya, kondisi wilayah-wilayah di Asia Tenggara pada saat itupun berada dalam situasi politik dan kondisi sosial budaya yang berbeda-beda.
Ambil contoh, misalnya pada paruh kedua abad ke-13, para penguasa di Sumatra Utara (Aceh, sekarang) sudah menganut Islam. Namun pada saat yang sama, di Pulau Jawa, hegemoni politik ketika itu masih berada di tangan raja-raja beragama Syiwa dan Budha di Kediri atau Singasari. Ibu Kota Majapahit, yang pada abad ke-14 memiliki peranan penting di Asia Tenggara, pada waktu itu juga belum berdiri. Begitu pula kerajaan Islam Demak barulah tercatat berdiri bersamaan dengan melemahnya kekuasaan Majapahit setelah memasuki kisaran pertengahan abad ke-15-an.
Sekalipun fenomena Islam di Asia Tenggara katakanlah jauh dari keseragaman dan generalisasi teoritis—atau sebutlah itu sebagai “teori tunggal”—terkait persoalan “kapan, di mana, mengapa, dan dalam bentuk apa” Islam mulai menimbulkan dampak yang signifikan, setidaknya Azra (1999) berhasil menunjukkan suatu hipotesa kuat. Yakni, di sepanjang abad ke-16 dan abad ke-17, sejarah Asia Tenggara menyaksikan suatu kesuburan dalam penulisan literatur Islam baik di bidang sastra, filsafat, metafisika, maupun teologi rasional.
Ya, di sepanjang masa itu yaitu abad ke-16 dan abad ke-17, lahirnya beragam literatur tersebut bisa dikata menandakan suatu epos pembangunan rasionalisme dan intelektualisme di Asia Tenggara, di mana Islam dalam warna sufisme atau tasawuf saat itu pernah memegang peranan penting dalam mempelopori kemajuan, toleransi dan keberagaman. []