Kampung ini dulu dijuluki “Texas from Pontianak”. Kemudian Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) merubahnya menjadi waterfront city yang cantik. Presiden Joko Widodo menyebut Kampung Beting terbaik dibanding tiga proyek waterfront lain yaitu Kampung Sumber Jaya di Bengkulu, Kampung Tegalsari di Kota Tegal, dan Kampung Tambak Lorok di Semarang.
Bagi yang mengenal Pontinak, Kalimantan Barat (Kalbar), atau lahir di sana, pasti kenal kampung Beting. Wilayah yang masuk Pontianak Timur, tak jauh dari pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak ini terkenal dengan citra negatifnya. Angka kriminalnya lumayan tinggi, terutama keterlibatan sebagian masyarakatnya pada narkotika. Dari 3.000 penduduk di Kampung Beting, ditengarai ada 200 orang penduduk tersangkut masalah narkoba. Kampung ini juga tercatat satu dari 23 kawasan rawan tindak kriminalitas di wilayah Kalbar.
Bukan itu saja, kampung yang sebagian besar dibangun di atas air sungai dan jalan penghubungnya berupa jembatan ini terlihat padat dan kumuh. Sebagian besar masyarakatnya hidup bergantung pada Sungai Kapuas dan Sungai Landak dengan menangkap atau menjadi pedagang ikan. Mereka mandi, mencuci pakaian, dan membersihkan peralatan di bawah rumah mereka sehingga terlihat sangat kotor dan tidak sehat.
Namun sejak tahun 2016, lewat program PUPR kampung itu diperbaiki sehingga kemudian tertata dengan baik. Rumah-rumah yang tadinya membelakangi sungai, kini sebagian besar sudah menghadap sungai. Kamar mandi jamban dan tempat pencucian, ditata sedemikain rupa sehingga tidak saja terlihat rapi, tapi juga layak huni. Wilayah ini terintegrasi dengan penataan Kampung Tambelan Sampit yang juga berada di pesisir Sungai Kapuas.
Program ini tak hanya berupa fisik atau infrastruktur, tapi juga mengajak masyarakat berpartisipasi meningkatkan kualitas lingkungannya. Misalnya dengan menebarkan bibit ikan yang bisa mengurai kotoran. Sanitasi diatur dengan lebih baik menggunakan bahan bangunan yang berkualitas. Secara umum program ini bermaksud mengembangkan pemukiman pesisir berbasis ekonomi perikanan.
Pada September 2019 lalu, ketika meresmikan Waterfront City Pontianak, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa program perbaikan kampung nelayan di Kampung Beting, Pontianak, Kalbar, jauh lebih baik dibandingkan dengan tiga proyek waterfront lainnya. Ketiga proyek waterfront yang dimaksud adalah; Kampung Sumber Jaya di Bengkulu, Kampung Tegalsari di Kota Tegal, dan Kampung Tambak Lorok di Semarang.
Penataan fisik kampung nelayan ini juga diikuti dengan berbagai program pembinaan lainnya seperti meningkatkan keterampilan para ibu dengan membuat kerajinan tangan dan kuliner. Juga berbagai penyuluhan dan penyediaan kesempatan kerja bagi para pemuda agar tidak terjerat lagi dalam kegiatan narkoba. Dengan berbagai kegiatan itu diharapkan Kampung Beting terbebas dari citra buruknya yang lama yaitu kampung dengan julukan “Texas from Pontianak” karena konotasi bahaya atau genting bagi para pendatang atau wisatawan.
Berasal dari Sosok Misterius Berambut Panjang
Alasan lain yang membuat kita harus singgah ke Kampung Beting adalah karena adanya dua cagar budaya di wilayah ini. Cagar budaya tersebut adalah Masjid Jami (Masjid Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie) dan Istana Kadriah Kesultanan Pontianak.
Istana Kadriah merupakan tempat tinggal Sultan Pontianak terakhir yaitu Sultan Syarif Machmud Melvin bin Sultan Syarif Abubakar Alkadrie. Istana Kadriah merupakan simbol kesultanan yang didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie sekaligus sebagai sultan pertama wilayah ini pada tahun 1771.
Sultan Abdurrahman Alkadrie datang ke wilayah ini selang tiga bulan setelah ayahnya meninggal. Sang ayah adalah penyebar agama Islam yaitu Al Habib Husin wafat pada tahun 1184 di Mempawah. Dari Mempawah, Sultan menyusuri Sungai Kapuas dan terhenti di pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Di situ Sultan kabarnya diganggu oleh sosok misterius berambut panjang.
Karena berkali-kali diganggu, akhirnya Sultan mengeluarkan meriam dan diarahkan ke sosok misterius itu. Sultan yang merupakan tokoh agama juga mengusirnya dengan doa. Atas dasar kisah tersebut lahirlah kota Pontianak karena konon daerah itu berasal dari kata kuntilanak yang merupakan sosok misterius pengganggu tersebut.
Setelah wilayah itu dianggap aman, Sultan mendirikan Istana Kadriah dan pemukiman para tokoh dan pegawai keraton. Wilayah pemukiman para tokoh dan pegawai keraton ini dinamakan Kampung Beting. Awalnya, kampung ini ditata sesuai dengan fungsinya.
Kampung ini punya elemen arsitektur berupa langgar (mushalla), kopol (dermaga), tiga rumah besa (tempat musyawarah) dari tiga suku berbeda yang tinggal di wilayah itu, rumah balai (elemen pemerintahan) dan makam. Elemen-elemen diatas dipandang sebagai satu kesatuan sistem dan menjadi artefak dari cerminan karakter kebudayaan kampung tersebut.
Sebagian besar rumah di Kampung Beting adalah rumah di atas air yang dinamakan rumah panggung dan rumah lanting. Rumah panggung terklasifikasi dalam tiga tipe rumah yang sekaligus penunjuk ‘kasta’ atau kelas pemilik rumah. Tiga tipe rumah itu adalah tipe rumah potong godang, tipe rumah potong kawat dan tipe rumah potong limas. Rumah potong limas biasanya dimiliki oleh tokoh masyarakat yang terkait dengan keraton. Sedangkan rumah lanting adalah rumah yang ditinggali rakyat jelata.
Meski dibutuhkan kerja yang sangat keras, ada mimpi besar soal Kampung Beting untuk masa depan, yaitu menjadikannya sebagai destinasi wisata religi seperti Kampung Arab di Singapura. Bukan hal yang mustahil, mengingat Kampung Beting punya modal cukup sebagai destinasi wisata religi yaitu Masjid Jami dan Istana Kadriah. Keduanya bisa jadi daya tarik wisata religi. [*]