Begitu bidadari datang dari gunung, Sayid menyembunyikan selendang salah seorang bidadari. Kisah selanjutnya mudah ditebak, salah satu bidadari tidak bisa terbang pulang, lalu Sayid yang menolong bidadari itu dan menjadikannya istri.
Walaupun demikian, menurut Sanjay Subrahmanyam, peneliti sejarah dari India yang saat ini menjadi guru besar di UCLA, Amerika Serikat, gambaran tentang negeri-negeri di Asia Tenggara di dalam catatan orang-orang Indo-Aryan (Mughal) masih belum jelas benar. Bagi Subrahmanyam, yang punya spesialisasi dalam bidang sejarah Mughal, belum ada uraian yang bisa menjelaskan bagaimana persepsi kultural tentang orang Asia Tenggara dalam benak orang Mughal. Demikian juga sebaliknya, belum cukup sumber-sumber dari Asia Tenggara yang bisa menceritakan kesan mereka tentang orang-orang “atas angin” ini.
Orang telah banyak mengetahui bahwa tekstil adalah andalan utama perdagangan dari Mughal. Sementara rempah-rempah, kayu-kayu aromatik, mineral, dan metal, hingga gajah adalah produk-produk yang datang dari kepulauan Nusantara. Tetapi catatan tentang kondisi bangsa-bangsa yang menghuni wilayah “bawah angin” masih sedikit ditemukan. Catatan-catatan bangsa Eropa, seperti Portugis dan Spanyol, yang diharapkan bisa memberikan petunjuk, masih sangat terbatas dalam deskripsinya.
Catatan itu terdapat dalam buku kelima yang menulis tentang “keajaiban dan kehebatan pulau-pulau dan pelabuhan” yang dekat dengan wilayah Benggal. Di dalamnya terdapat sumber tulisan yang berasal dari catatan Khoja Baqir Anshari, punggawa Mughal yang bertugas di Benggal. Muhammad Thahir menyelesaikan catatan ini di masa kepemimpinan Sultan Akbar. Muhammad Thahir sendiri adalah seorang imigran dari Iran, anak dari seorang punggawa kerajaan.
Thahir menjelaskan dengan panjang lebar tentang bagaimana mendapatkan kamper (kapur barus). Komoditas yang sangat berharga itu hanya bisa didapatkan di wilayah yang dihuni oleh suku-suku kanibal. Perlu lima hari perjalanan untuk pergi ke wilayah tempat pohon kamper itu berada. Catatan selanjutnya lebih pada kecenderungan untuk menggambarkan praktek kanibalisme yang dilakukan para penghasil pohon kamper. Mulai dari mereka memakan anggota suku yang sakit sampai soal taruhan judi yang mengorbankan salah satu anggota badannya.
Thahir mencatat bahwa pohon kamper itu menyerupai pohon mangga. Ada tiga cara untuk mendapatkan getah kamper, tulis Thahir, yang pertama dari kulitnya, yang kedua di antara cabang pohonnya, dan yang ketiga ditoreh dari bagian bawah pohon.
Hukum di Aceh juga keras dengan praktik potong tangan bagi pencuri. Ada juga hukum buang ke tempat terpencil bagi pasangan yang melanggar aturan tertentu. Semua itu, menurut catatan Thahir dibuat oleh penguasa kerajaan agar penduduknya disiplin dan siap menghadapi kedatangan penjajah Peranggi (Portugis).
Pada suatu hari Sayid mendengar ada suara-suara aneh dari gunung. Dia diberi tahu bahwa suara itu berasal dari para bidadari yang sedang mandi. Sayid tertarik dengan hal itu dan dia mencari kolam pemandian bidadari. Sesampai di sana dia sembunyi. Begitu bidadari datang dari gunung, Sayid menyembunyikan selendang salah seorang bidadari. Kisah selanjutnya mudah ditebak, salah satu bidadari tidak bisa terbang pulang, lalu Sayid yang menolong bidadari itu dan menjadikannya istri. Dari sanalah muncul generasi penguasa Aceh selanjutnya. []