Siapakah Mister Soemanang? Dalam riwayat yang tertulis di situs LKBN Antara disebutkan bahwa dia adalah salah seorang pendiri bersama dengan tiga nama lain, yakni AM Sipahoetar, Pandoe Kartawigoena, dan Adam Malik. Empat orang ini disebut sebagai para founding fathers. Bagaimana kesejarahan para pendiri ini, situs LKBN Antara tidak menulisnya dengan jelas.
Di depan nama Soemanang ada gelar “mister”. Gelar ini tentu bukan sembarangan. Pada zaman itu gelar “mister” menunjukkan bahwa penyandangnya adalah seorang lulusan sekolah hukum. Dan benar, dalam buku memoar Sindoedarsono Soedjojono alias S Soedjojono, pelukis legendaris Indonesia yang berjudul “Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya” (2017), di sana disebutkan bahwa Mister Soemanang adalah lulusan RH di Jakarta.
Apakah RH itu? Dengan mengetikkan kata “sekolah hukum batavia” di mesin pencari ternyata ketemu, RH adalah kepanjangan dari “Rechtshoogeschool te Batavia” atau sekolah hukum bentukan Gubernur Jenderal JB Van Heutsz yang didirikan sejak 1924. Mr Soemanang adalah lulusan RHS, singkatan sekolah itu, yang saat ini menjadi gedung Kementerian Pertahanan Republik Indonesia di Merdeka Barat.
Apa keistimewaan Mr Soemanang? Menurut Harimurti Kridalaksana dalam bukunya Masa Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga Rampai (1991), Soemanang adalah salah seorang yang berhasil meyakinkan para penulis, wartawan, guru, dan peminat lain untuk menyelenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Salah seorang penyokong utamanya adalah Raden Mas Soedardjo Tjokrosisworo, wartawan nyentrik dari keluarga priyayi Solo.
Kegelisahan Pejuang Bahasa
Setelah mendirikan Naamloze Vennootschap (NV) Kantor Berita Antara pada 1937, Soemanang Soerjowinoto, yang mendengar kegelisahan Soedardjo berinisiatif untuk berkeliling menemui tokoh-tokoh peminat bahasa, kaum terpelajar, orang-orang pergerakan, dan wartawan. Salah satu yang berhasil diyakinkan Soemanang adalah orang-orang penting seperti Hoesein Djajadiningrat dan Poerbatjaraka.
Indira Ardanareswari, dalam artikel di Tirto.id menulis dengan lebih lugas riwayat Kongres Bahasa Indoensia yang pertama. Mulai dari pemilihan tempat kongres yang diselenggarakan di Solo sampai dengan wakil-wakil peserta kongres yang berasal dari wakil Keraton Jogja dan Solo sampai dengan wartawan-wartawan yang tergabung di dalam organisasi Persatuan Djurnalis Indonesia (PERDI).
Poerbatjaraka, penelitis naskah kuno legendaris Indonesia dan Hindia Belanda, membuka acara yang dihadiri lebih dari 500 orang tamu. Selanjutnya acara disambung dengan pidato yang lebih menyerupai orasi dari Soedardjo yang berhasil membius peserta kongres. Soedardjo intinya merasa harus memperjuangkan Bahasa Indonesia agar bisa “menang” di republik yang akan segera datang. Sementara itu dia merasa pemakaian Bahasa Indonesia masih kacau-balau sejak diikrarkan pada peristiwa Sumpah Pemuda sepuluh tahun sebelum kongres bahasa yang pertama. Soemanang adalah orang yang tercatat mengabadikan kepeloporan para peserta kongres bahasa yang pertama ini dalam sebuah surat yang dia tulis untuk Majalah Pembina Bahasa Indonesia bertanggal 12 Oktober 1983.
Tantangan Pendangkalan
Saat ini, di zaman disrupsi teknologi informasi, perkembangan Bahasa Indonesia mengalami tantangan yang sangat kompleks. Di satu sisi, Bahasa Indonesia yang telah berkembang sebagai bahasa nasional merupakan bahasa yang digunakan paling banyak oleh penduduk Indonesia. Tetapi di sisi lain, karena semakin banyaknya penggunaan bahasa di media sosial yang sebagian besar merupakan bahasa yang digunakan secara populer, lambat laun Bahasa Indonesia malah semakin kehilangan kekayaan bahasanya.
Di tengah melimpahnya berbagai tulisan dan berbagai bentuk teks yang muncul setiap hari di dalam perangkat genggam pintar di tangan generasi milenial, bahasa yang berkembang malah semakin kalah bersaing dengan bahasa-bahasa serapan yang lebih populer. Kegemaran generasi zaman sekarang mencampur Bahasa Inggris pergaulan ke dalam istilah sehari-hari menciptakan suasana kacau yang pasti akan menjadi kegelisahan bagi para pejuang bahasa yang susah payah menjadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional.
Memang cukup sulit untuk bisa membuat terobosan agar generasi anak muda pada saat ini mau untuk belajar kembali “memenangkan Bahasa Indonesia”. Tidak cukup dengan imbauan. Generasi sekarang disuguhi dengan contoh dan langkah-langkah nyata yang populer dan mudah diikuti oleh para pembuat konten media sosial. Sudah saatnya para jurnalis, wartawan, peminat bahasa, peneliti, penulis lepas memikirkan cara untuk memperjuangkan kembali Bahasa Indonesia. Sudah saatnya para peminat mandiri Bahasa Indonesia yang saat ini lebih mirip “polisi bahasa” didukung untuk membuat konten-konten yang lebih populer dan beragam variasinya. Sudah saatnya negara mendukung pembuatan konten-konten yang mampu memperkaya kembali penggunaan Bahasa Indonesia dan terutama memenangkan kembali Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang tahan banting terhadap perkembangan zaman. []