Proyek Strategis Nasional IP 9&10 Ada Ladang Pungli, Siapa Yang Disalahkan..?

Oleh: Badia Sinaga.

Cilegon, LN – Problematika pengangguran di kota Cilegon atau kota julukan Kota Industri semakin miris, pasalnya beberapa hari lalu ada unjukrasa salah satu Ormas yang menyerukan bahwa adanya praktek pungli (pungutan liar) yang dilakukan oknum oknum perusahaan subcontract dalam proyek strategis nasional Indonesia Power (IP) Unit 9&10.

Penulis mencoba menganalisis bagimana sih hak warga lokal yang mestinya di prioritaskan menjadi tenaga kerja diperusahaan anak perusahaan BUMN ini, dimana keinginan warga lokal yang notabene masyarakat lokal tidak membawa misi yang besar, hanya bagaimana dapat bekerja dengan tidak mengeluarkan embel-embel, dimana isunya dapat bekerja harus mengeluarkan beberapa nilai rupiah,tentunya hal ini yang patut dicurigai sebagai potensi pungli (Pungutan liar) oleh pihak pihak yang memanfaatkan.

Bagaimana sih problematika ini menjadi lahan subur bagi oknum oknum yang melakukan praktek pungli ini, tentunya ada celah yang bisa terjadinya praktek praktek pungli, baik dari internal perusahaan ataupun patut dipertanyakan dari sisi ekternal, tentunya hal ini menjadi bumerang suatu saat, dimana pungli (pungutan liar) suatu pelanggaran tindak pidana dalam KUHP, pelaku pungli dijerat dengan Pasal 368 ayat 1. Siapapun yang mengancam atau memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu terancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Dalam isu pungli di salah satu perusahaan subcont proyek strategis nasional IP 9&10 lalu kegiatan pungli (Pungutan liar) ini siapa yang mengawasi, tentunya disamping APH(Aparat penegak hukum) pemerintah daerah harusnya proaktif, dimana yang menjadi fungsi kontrol ada di dinas terkait hal ini disnaker, pertanyaan publik apakah bentuk pengawasan atau monitoring dari dinas disnaker sudah berjalan dengan baik.

Jika dinas terkait hal ini disnaker (dinas tenaga kerja) sudah berjalan maksimal tentunya praktek praktek pungli ini tidak akan terjadi, namun fakta masih ada informasi atau isu bagaimana sulitnya masuk kerja di kota Industri ini atau kota Cilegon jika tidak ada orda(orang dalam) atau sesuatu memberikan imbalan (pungli), seterusnya pertanyaan masyarakat sampai kapan praktek praktek ini terus terjadi, diharapkan kehadiran pemerintah daerah, dan juga pengawasan dari legislatif.

Padahal jelas dalam aturan perundang-undangan tentang tenaga kerja lokal adalah objek-objek yang harus di akomodir bagi perusahaan baik skala kecil, menengah dan besar, tentunya peran serta dari pemerintah daerah hal ini dinas tenaga harus maksimal.

Penulis menyampaikan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.

Jika dilihat dari pasal tersebut, semua orang mempunyai hak yang sama ketika mendaftarkan diri ke suatu perusahaan untuk menjadi tenaga kerja.Selain itu, Pasal 31 UU Ketenagakerjaan juga menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh pengasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.

Perusahaan-perusahaan yang berdiri di suatu daerah tentu juga harus mematuhi aturan yang ada di daerah itu guna ikut serta patuh terhadap aturan/hukum yang ada.

Dalam hal ini, kabupaten/kota mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan daerah kabupaten/kota sebagaimana dijelaskan

Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan penjelasannya.

Perusahaan dalam merekrut karyawan atau tenaga kerja tentu juga terikat dengan aturan di daerah tersebut, di mana jika daerah tersebut menyatakan bahwa harus ada karyawan yang tergolong masyarakat lokal atau tenaga kerja lokal, maka perusahaan harus mematuhi aturan tersebut,apakah perusahaan di kota Cilegon yang disebut kota Industri sudah sesuai harapan rakyat. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *