Wujud sangat besar bagaikan “gargantua” adalah kata yang mungkin paling pas untuk menggambarkan sebuah kapal raksasa yang pernah menjadi penguasa pelayaran samudera sejak awal penanggalan Masehi.
Wujud sangat besar bagaikan “gargantua” adalah kata yang mungkin paling pas untuk menggambarkan sebuah kapal raksasa yang pernah menjadi penguasa pelayaran samudera di awal penanggalan Masehi. Bahasa Melayu menyebutnya sebagai “jong”, orang Jawa menyebutnya sebagai “jung”, orang Portugis menulisnya sebagai “junco”, sedangkan orang Arab menyebutnya sebagai “j-n-k” yang diucapkan mirip cara orang Iberia atau Portugis mengucapkannya.
Catatan Tome Pires, penjelajah Portugis abad 16, menyebut nama Pati Unus sebagai panglima yang memimpin armada pasukan laut dari sebuah kapal raksasa yang disebut sebagai “jung”. Kapal itu begitu besar sehingga bisa menampung sekitar seribu penumpang. Banyak ahli yang menduga kata “jung” berasal dari perbendaharaan bahasa Tiongkok. Tapi peneliti sejarah, seperti Paul Pelliot, Waruno Mahdi, hingga Manguin, meyakini kata ini lebih tua dari riwayat pelayaran Samudera Cina yang bermula pada masa Dinasti Sung atau sekitar abad ke-10 masehi.
“Dahulu adalah seorang anak desa, Nala namanya. Dia berasal dari sebuah kampung nelayan di Tuban. Seorang bocah yang oleh para dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk Majapahit dia ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang dan sepuluh depa lebar. Bisa mengangkut sampai delapan ratus orang prajurit dan dua ratus tawanan. Kapal-kapal besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini.” (Arus Balik, 1995 hal – 852)
Catatan paling tua tentang kapal raksasa Asia Tenggara ada dalam catatan Ptolemy, ditulis pada sekitar tahun 100 Masehi. Catatan itu adalah Periplus Marae Erythraensis (catatan laut bagian terluar). Nama kapal raksasa itu adalah “kolandiophonta’, yang bisa jadi merupakan adaptasi dari terjemahan Tiongkok “kun lun po”. Buku Abad ke-3 berjudul Hal-Hal Aneh dari Selatan karya Wan Chen, menggambarkan bahwa kapal itu mampu membawa 700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 kargo (sekitar 250-1000 ton). Kapal ini bukan berasal dari Tiongkok, tetapi dari Kun-lun, yang besar lebih dari 50 meter panjangnya. Tingginya di atas air 4 hingga 7 meter.
Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan, Kerajaan Majapahit menggunakan “jung” secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Mereka dikelompokkan menjadi 5 armada. Jumlah terbesar “jung” Majapahit mencapai 400 kapal, disertai jenis Malangbang dan Kelulus yang tak terhitung banyaknya.
Alfonso Albuquerque sendiri mencatat kalau jung itu memiliki empat tiang layar. Bobot muatannya sekitar 600 ton. Sedangkan yang terbesar tercatat dimiliki Kerajaan Demak dengan bobot mencapai 1.000 ton. Fernao Pires de Andrade mencatat dalam rangkuman Tome Pires kalau kapal itu butuh tiga tahun untuk membangunnya. Konon Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan perancang kapal dari Jawa untuk bekerja bagi Portugis di Malaka. Satu buah jung tercatat berhasil dibawa ke Portugal dan digunakan menjadi kapal penjaga pantai di Savacem.
- Kapal yang sangat besar sekitar 50 meter panjangnya dengan kapasitas angkut 500 hingga 1.000 orang dengan kapasitas beban antara 250 hingga 1.000 ton.
- Tidak menggunakan besi atau paku sebagai teknologi pembuatannya. Orang Nusantara menggunakan pasak untuk merekatkan bagian kapal satu sama lain.
- Dinding kapal terdiri dari lapisan-lapisan papan yang terbuat dari kayu jati.
- Tidak adanya satu jenis kemudi. Ada semacam cadik dengan dua bilah yang ditaruh di belakang dek kapal.
- Kapal raksasa itu menggunakan bermacam layar, mulai dari dua layar hingga empat layar besar, lengkap dengan sebuah busur besar sebagai kemudi angin.
Perintah Amangkurat I pada 1655, dicatat Rendra F Kurniawan (2009) sebagai kebijakan represif Mataram yang paling memukul kota-kota pesisir. Perintah dia untuk menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal-kapal agar tidak memicu pemberontakan membuat punahnya lapisan ahli-ahli pembuat kapal yang sejak masa Demak sendiri sudah tinggal sisa-sisa.