Dulu pernah ada keinginan warga sekitar untuk “merestorasi” situs Kawitan yang ditemukan pada kurun 1965-1967. Namun hal itu tidak terealisasi karena jiwa yang malinggih di situs tersebut menunjukkan penolakan.
Sosok dan wajahnya jelas menggambarkan panjang kehidupan yang telah dilaluinya di muka bumi ini. Namun Mbah Saminten, perempuan yang sehari-harinya mendedikasikan dirinya sebagai penjaga Situs Kawitan, tampak sangat bugar. Gerakannya tampak sigap menyapu setiap jengkal areal di sekitaran situs tersebut. Dengan sapu lidi di tangan, Mbah Saminten tampak dengan telaten menyapu pelataran bangunan peninggalan budaya tersebut.
Respons yang ditunjukkan Mbah Saminten, saat disapa cukup mengejutkan. Pasalnya perempuan berkulit sawo matang itu mampu mendengar sapaan yang dilontarkan dalam jarak sekitar 10 meter.
Dengan penuh keramahan, Mbah Saminten lantas mempersilakan tamunya untuk menengok bagian dalam situs. Masih dengan keramahan yang sama, Mbah Saminten tak lupa mengingatkan bahwa di bagian dalam situs tidak diperkenankan untuk mengabadikan gambar apapun. Baik itu kegiatan maupun bangunan.
Lampu hijau dari Mbah Saminten itu cukup melegakan. Setelah puas mengambil gambar di bagian luar situs, langkahpun langsung diarahkan menapaki anak tangga bangunan tersebut. Menengok bagian dalam situs, kesan yang tertangkap adalah kesederhanaan sebuah rumah peribadatan.
Kedua tumpukan batu itu dibalut dengan kain motif kotak-kotak warna hitam putih khas Bali. Di di bagian tengah, dekat meja batu, terdapat bak batu dengan tutup terbuat dari seng. Menurut Mbah Saminten, itu adalah tempat penyimpanan air suci
Sedangkan dua tumpukan baru berselimut kain kotak-kotak itulah yang diyakini sebagai peninggalan sejarah. Tiba-tiba terdengar Mbah Saminten pun berbisik. “Dulu situs ini pernah mau dibangun (ditata), tapi nggak mau,” ujarnya tanpa menyebut dengan rinci identitas sosok yang menolak pembangunan ulang (restorasi) kawasan situs.
Kesan mistis yang melingkupi kawasan memang sudah menjadi rahasia umum masyarakat sekitar. Dari cerita yang berkembang di masyarakat, di masa lalu, sejumlah warga tertimpa bencana akibat ketidaktahuannya.
Karena itulah, oleh warga bongkahan batu itu kemudian dikembalikan ke tempat semula. Dan bencana penyakit yang menimpa sejumlah warga pun berangsur-angsur mereda. Sejak saat itu, warga menyakini bongkahan batu di tengah belantara Alas Purwo bukanlah batu biasa.
Dari cerita turun-temurun, disiarkan bahwa Situs Kawitan memiliki lorong gaib. Lorong itu menjadi tempat pertapaan seorang begawan atau resi. Ada dua versi cerita yang beredar. Yakni kisah Resi Markandya, yang menurut cerita masyarakat Hindu di Tegaldlimo, Banyuwangi, situs itu ada kaitannya dengan perjalanan Resi Markandya menuju Pulau Dewata Bali.
Setelah bertapa di Alas Purwo, Resi Markandya disebutkan menemukan obat untuk mengobati masyarakat di Bali. Setelah mereka sembuh, dibuatlah Pura Agung di Besakih untuk menghormati jasa Resi Markandya. Jadi Situs Kawitan ini ada kaitannya dengan pura di Besakih. Versi lain cerita itu adalah ihwal pertapaan Mpu Baradah. Dikabarkan, di situs itulah sang mpu bersemedi.
Pada upacara tiap 210 hari itu, terdapat tiga tahapan, yaitu pelemahan ritual sesaji bagi tanah untuk santapan Bhatara Kala. Lalu yang kedua adalah pawongan, yaitu penurunan ilmu dari para dewa. Dan yang ketiga adalah khayangan, yakni ritual bermakna ungkapan sebagai rasa syukur atas limpahan ilmu pengetahuan.